Pertemuan Yang mengubah Takdir - Ahmad Fauzan
Pertemuan Yang mengubah Takdir
Mentari
pagi memancarkan sinarnya yang lembut, membelai dedaunan yang masih basah oleh
embun. Di sebuah taman kecil di tengah kota, seorang perempuan bernama Aira
sedang asyik membaca buku favoritnya sambil menikmati secangkir kopi. Dunia
seakan menghilang saat ia tenggelam dalam ceritanya, hingga sebuah suara pelan
mengagetkannya.
"Maaf,
ini bukumu?" tanya seorang pria dengan suara ragu, sambil memegang sebuah
buku kecil yang jatuh di samping bangku Aira.
Aira
mendongak. Di depannya berdiri seorang pria dengan senyuman canggung namun
menawan. Matanya yang hangat membuat Aira tertegun sejenak sebelum ia menjawab,
"Oh, iya. Terima kasih." Ia mengambil buku itu, dan senyum kecil
menghiasi wajahnya.
"Aku
pikir kamu suka membaca di sini. Aku sering lihat kamu," lanjut pria itu
dengan nada ramah. "Namaku Rafa."
Aira
tersenyum lebih lebar. "Aku Aira. Dan ya, taman ini tempat favoritku.
Udara pagi di sini menyenangkan."
Obrolan
sederhana itu berlanjut, mulai dari buku favorit hingga tempat kopi terbaik di
kota. Tanpa disadari, waktu berlalu begitu cepat. Matahari yang tadi memulai
harinya kini mulai meninggi, namun mereka berdua merasa seperti baru saja
memulai.
Itu
adalah awal dari kisah mereka, sebuah cerita yang manis dimulai dari pertemuan
tak terduga di sebuah taman kecil yang penuh keajaiban.
**Bab
2: Janji di Bawah Langit**
Hari
berikutnya, Aira kembali ke taman yang sama, kali ini dengan sedikit harapan di
hatinya. Ia tidak tahu apakah Rafa akan ada di sana, namun bayangan percakapan
mereka kemarin membuatnya tersenyum sepanjang hari. Saat ia duduk di bangku
favoritnya, suara familiar memecah keheningan pagi.
"Kupikir
aku akan menemui kamu lagi di sini," kata Rafa dengan nada ceria sambil
membawa dua cangkir kopi di tangannya. "Kamu suka latte, kan? Aku ingat
kamu bilang itu kemarin."
Aira
terkekeh, merasa sedikit tersipu. "Wow, ingatanmu bagus juga. Terima
kasih, Rafa."
Mereka
menghabiskan pagi itu bersama, berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari dan
impian masing-masing. Rafa bercerita tentang mimpinya membuka toko buku kecil
yang nyaman, tempat orang-orang bisa membaca sambil menikmati kopi. Aira, di
sisi lain, mengungkapkan keinginannya untuk menulis sebuah novel yang mampu menginspirasi
orang lain.
"Aku
rasa, kamu sudah punya bahan cerita untuk novelnya," Rafa bercanda sambil
menatap Aira dengan senyum nakal. "Awal cerita: seorang pria yang
menemukan buku jatuh di taman."
Aira
tertawa kecil. "Mungkin aku perlu tambahkan sedikit drama untuk membuatnya
lebih menarik."
Waktu
kembali berlalu tanpa terasa. Saat langit mulai berubah warna menjadi jingga,
Rafa berdiri dan berkata, "Aku senang sekali ngobrol dengan kamu, Aira.
Bisakah kita bertemu lagi di sini besok?"
Aira
tersenyum, merasa sesuatu yang hangat tumbuh di hatinya. "Tentu, Rafa.
Sampai besok."
Saat
Rafa pergi, Aira menatap langit yang mulai gelap. Taman itu, yang selama ini
hanya tempatnya mencari ketenangan, kini menjadi tempat yang membawa harapan
baru. Sebuah janji tersirat di bawah langit senja, janji untuk melanjutkan
kisah yang baru saja dimulai.
**Bab
3: Rahasia yang Terungkap**
Beberapa
minggu berlalu, dan pertemuan mereka di taman menjadi rutinitas yang
ditunggu-tunggu. Namun, di balik tawa dan obrolan hangat mereka, Rafa menyimpan
sebuah rahasia yang mulai membebaninya.
Suatu
pagi, Aira tiba di taman lebih awal dari biasanya. Ia melihat Rafa duduk di
bangku mereka, tapi kali ini ia terlihat berbeda. Wajahnya serius, matanya
menatap kosong ke kejauhan.
"Rafa,
kamu baik-baik saja?" tanya Aira, duduk di sampingnya.
Rafa
terdiam sejenak sebelum akhirnya menarik napas panjang. "Aira, ada sesuatu
yang harus aku ceritakan. Aku takut ini akan mengubah cara kamu melihat
aku."
Jantung
Aira berdebar. "Apa maksudmu, Rafa? Kamu membuatku khawatir."
Rafa
menunduk, jemarinya saling bertaut. "Aku... aku sebenarnya sudah memiliki
seseorang. Aku bertunangan setahun yang lalu, tapi hubungan kami sekarang
sedang dalam ambang kehancuran. Aku bahkan tidak yakin apakah aku masih
mencintainya." Matanya mulai memerah. "Tapi sejak aku bertemu kamu,
semuanya terasa berbeda. Aku merasa hidup lagi."
Aira
membeku. Kata-kata Rafa mengalir seperti gelombang yang menghantam hatinya. Ia
tidak tahu harus berkata apa. Perasaan hangat yang ia rasakan selama ini
tiba-tiba berubah menjadi campuran kebingungan dan kecewa.
"Aku
tidak tahu harus bilang apa, Rafa," bisik Aira akhirnya. "Aku butuh
waktu untuk mencerna ini."
Rafa
mengangguk pelan. "Aku mengerti. Aku hanya ingin jujur denganmu, Aira. Aku
tidak ingin ada kebohongan di antara kita."
Aira
berdiri perlahan, menghindari tatapan Rafa. "Mungkin kita butuh waktu
untuk memikirkan ini."
Hari
itu, taman yang biasanya penuh tawa berubah menjadi tempat penuh ketegangan.
Langit yang cerah pun terasa mendung di hati mereka berdua. Konflik yang tak
terduga kini menjadi ujian pertama bagi hubungan mereka.
**Bab
4: Keputusan di Bawah Langit Malam**
Hari-hari
berlalu tanpa pertemuan. Aira mencoba fokus pada kehidupannya, namun bayangan
Rafa terus menghantuinya. Ada kerinduan yang tak bisa ia abaikan, namun juga
kebimbangan yang sulit ia selesaikan.
Suatu
malam, Aira memutuskan untuk kembali ke taman. Ia butuh udara segar untuk
berpikir. Saat ia tiba, taman itu sepi, hanya ditemani gemerlap bintang di
langit. Namun, suara langkah kaki yang familiar mengalihkan perhatiannya.
"Aira,"
panggil Rafa pelan.
Aira
berbalik, dan di sana Rafa berdiri, membawa sebuah buku kecil—buku yang sama
yang menjadi awal pertemuan mereka.
"Aku
tahu aku salah karena melibatkanmu dalam kekacauan ini," kata Rafa dengan
nada tulus. "Tapi aku ingin kamu tahu, aku telah membuat keputusan. Aku
sudah mengakhiri pertunanganku. Itu bukan langkah yang mudah, tapi aku sadar
bahwa aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan."
Aira
terdiam, membiarkan kata-kata Rafa meresap. "Kenapa kamu bilang ini padaku
sekarang?"
Rafa
menatapnya dengan penuh harapan. "Karena aku ingin jujur denganmu sejak
awal. Aku tidak berharap kamu langsung memaafkan atau menerima aku. Aku hanya
ingin kamu tahu bahwa aku memilih untuk memulai dari awal, dengan hati yang
benar-benar bersih. Dan jika kamu mengizinkan, aku ingin memulai itu
bersamamu."
Air
mata menggenang di mata Aira. Ia merasa lega mendengar kejujuran Rafa, tapi
juga tahu bahwa ini adalah keputusan besar untuk mereka berdua.
"Aku
butuh waktu, Rafa," jawab Aira akhirnya. "Tapi aku menghargai
keberanianmu untuk jujur."
Rafa
mengangguk, senyumnya penuh kelegaan. "Aku akan menunggu, Aira. Selama
yang kamu butuhkan."
Di
bawah langit malam yang dipenuhi bintang, mereka berdua memutuskan untuk
memulai kembali—dengan waktu, kejujuran, dan hati yang lebih siap untuk
menghadapi apa pun yang akan datang.
Comments
Post a Comment